Jabatan,
kekuasaan dan wewenang hanyalah sebuah aksesoris kecil. Sedangkan melayani dan
peduli merupakan inti dari kepemimpinan yang baik ( Djajendra ).
Menurut
Suradinata ( 1997 : 11 ) pemimpin adalah orang yang memimpin dua orang atau
lebih, baik organisasi maupun keluarga. Dari dua pernyataan tersebut secara
sederhana saya mengartikan Pemimpin adalah seorang pelayan. Sehingga seorang
pemimpin wajib memberikan pelayanan prima terhadap orang yang dipimpinnya.
Menjadi
seorang pelayan itu harus siap menderita, apalagi menjadi pelayan di lingkup
organisasi kemahasiswaan, organisasi Masyarakat yang berbeda dengan menjadi
pelayan di tataran organisasi pemerintah yang meliputi eksekutif maupun
legislatif. tapi pada hakekatnya dimanapun tempatnya semuanya sama bahwa
pemimpin adalah pelayan. Jadi menjadi pemimpin harus siap melayani bukan malah
memanfaatkan sebuah kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan
kelompok tertentu.
Diakui
atau tidak menjadi seorang pelayan itu memang harus siap dihina, dicuekin,
dimusuhi, bahkan diftnah. Seperti yang telah dijelaskan diatas intinya pemimpin
itu harus siap menderita. Sejak pertama kali mencoba untuk menjadi seorang
pelayan diorganisasi banyak hal yang saya dapatkan. Lika – liku menjadi seorang
pelayan memang luarbiasa karena membutuhkan kesabaran, kepedulian, pengabdian
serta keikhlasan. Semenjak mengabdi diorganisasi IKSASS ( Ikatan Santri
Salafiyah Syafi’iyah ) sub Rayon Banyuwangi tengah, Osis SMK 1 Ibrahimy
Sukorejo, anggota organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, selanjutnya menjadi pelayan di kelas, menjadi pelayan di BEM FISIP
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi serta menjadi pelayan di organisasi
HIPMI PT ( Himpunan pengusaha pemuda Indonesia Perguruan Tinggi ). Dari
beberapa organisasi itulah saya belajar bagaimana menjadi seorang pelayan yang
berusaha memberikan pelayanan yang terbaik walaupun tak sempurna.
Pertama,
Menjadi pelayan harus mempunyai kesabaran, karena pengalaman yang saya alami
jika tidak sabar maka akan sulit menciptakan pelayanan yang sesuai harapan atau
malah memicu ketidakharmonisan yang dilayani jika tidak sabar. Karena begini
kadangkala seseorang yang dilayani tidak tahu diri dengan apa yang kita
berikan. Setelah kita layani kebutuhannya malah cuek. mengucapkan
terimakasihpun kadang tidak. Inilah contoh yang saya alami dalam memberikan
pelayanan. Jadi intinya harus sabar meskipun pelayanan kita tidak
dihargai.
Kedua,
menjadi pelayan harus siap peduli dengan lingkungan sekitar, peka terhadap
realitas sosial yang terjadi tanpa memandang siapa yang akan dilayani. Ya,
pelayan harus siap peduli entah bagaimanapun konsekuensinya. Pernah suatu
ketika membantu orang lain karena tersandung masalah sampai akhirnya menemukan
solusi walaupun tidak sampai akhir yang diharapkan. Setelah itu, Apa yang
terjadi? malah orang tersebut menjatuhkan dengan cara menyebarkan hal – hal
yang tak benar kepada orang lain. Jika seperti ini bagaimana? Jika ditanya
sakit gak digituin? Jawabannya ya tentu sakit. Terus apa yang di lakukan? Ya
berusaha menerima walupun sebenarnya tak terima. Dari realitas sosial ini saya
diajari bahwa kepedulian kita terhadap orang lain belum tentu dibalas dengan
kepedulian pula. So, belajarlah menerima walupun kepedulian kita tak dihargai.
Ketiga,
menjadi pelayan harus memiliki rasa pengabdian yang tinggi. Karena jika tidak,
pelayanan yang kita berikan tidak akan maksimal pasti ada menggerutunya. Yang
diniati pengabdian aja terkadang masih menggerutu, apalagi yang tidak diniati
mengabdi.
Keempat,
menjadi pelayan harus Ikhlas. Inilah hal yang terkadang sukar, berat untuk di
aplikasikan dalam memberikan pelayanan. Karena pada dasarnya ikhlas itu tak
meminta imbalan apapun dalam apa yang telah kita berikan. Ketika seorang
pelayan memiliki rasa ihklas yang kuat niscaya pelayanan yang diberikan terasa
tak berat dan akan melahirkan benih – benih kebahgiaan.
Suatu
hari aku pernah bercerita serta bertanya kepada Ibu. Bu, ko aku memikirkan
orang lain, padahal aku tidak ada yang memikirkan? ( Sambil lalu tersenyum ).
Lalu Ibu menjawab “Biarkan Allah yang memikirkanmu”. Jawaban yang singkat tapi
membuat hati terhenyak seketika. Dari jawaban Ibu, aku mencoba berfikir apa
maksud dibalik jawaban tersebut. Aku terus meraba – raba pernyataan itu hingga
akhirnya saya menemukan kesimpulan bahwa teruslah memberikan yang terbaik
kepada orang lain walaupun tak terbalaskan, teruslah memberikan pelayanan yang
terbaik walaupun tak dihargai, teruslah mengabdi walaupun dipandang sebelah
mata, dan yang terakhir teruslah memikirkan orang yang membutuhkan bantuan
walupun kita tak dipikirkan karena biarlah allah yang akan memikirkan kita.
Ketika Allah yang memikirkan kita bukan tidak mungkin kita akan diberi
kebahagian yang lebih dari apa yang telah kita berikan kepada orang lain.
Insyaallah.
Berjuang & Berproses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar