Kamis, 26 Januari 2017

( PELAYAN ) BIARKAN TUHAN YANG MEMIKIRKANMU



Jabatan, kekuasaan dan wewenang hanyalah sebuah aksesoris kecil. Sedangkan melayani dan peduli merupakan inti dari kepemimpinan yang baik ( Djajendra ). 


Menurut Suradinata ( 1997 : 11 ) pemimpin adalah orang yang memimpin dua orang atau lebih, baik organisasi maupun keluarga. Dari dua pernyataan tersebut secara sederhana saya mengartikan Pemimpin adalah seorang pelayan. Sehingga seorang pemimpin wajib memberikan pelayanan prima terhadap orang yang dipimpinnya.


Menjadi seorang pelayan itu harus siap menderita, apalagi menjadi pelayan di lingkup organisasi kemahasiswaan, organisasi Masyarakat yang berbeda dengan menjadi pelayan di tataran organisasi pemerintah yang meliputi eksekutif maupun legislatif. tapi pada hakekatnya dimanapun tempatnya semuanya sama bahwa pemimpin adalah pelayan. Jadi menjadi pemimpin harus siap melayani bukan malah memanfaatkan sebuah kekuasaan untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok tertentu.


Diakui atau tidak menjadi seorang pelayan itu memang harus siap dihina, dicuekin, dimusuhi, bahkan diftnah. Seperti yang telah dijelaskan diatas intinya pemimpin itu harus siap menderita. Sejak pertama kali mencoba untuk menjadi seorang pelayan diorganisasi banyak hal yang saya dapatkan. Lika – liku menjadi seorang pelayan memang luarbiasa karena membutuhkan kesabaran, kepedulian, pengabdian serta keikhlasan. Semenjak mengabdi diorganisasi IKSASS ( Ikatan Santri Salafiyah Syafi’iyah ) sub Rayon Banyuwangi tengah, Osis SMK 1 Ibrahimy Sukorejo, anggota organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, selanjutnya menjadi pelayan di kelas, menjadi pelayan di BEM FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi serta menjadi pelayan di organisasi HIPMI PT ( Himpunan pengusaha pemuda Indonesia Perguruan Tinggi ). Dari beberapa organisasi itulah saya belajar bagaimana menjadi seorang pelayan yang berusaha memberikan pelayanan yang terbaik walaupun tak sempurna. 


Pertama, Menjadi pelayan harus mempunyai kesabaran, karena pengalaman yang saya alami jika tidak sabar maka akan sulit menciptakan pelayanan yang sesuai harapan atau malah memicu ketidakharmonisan yang dilayani jika tidak sabar. Karena begini kadangkala seseorang yang dilayani tidak tahu diri dengan apa yang kita berikan. Setelah kita layani kebutuhannya malah cuek. mengucapkan terimakasihpun kadang tidak. Inilah contoh yang saya alami dalam memberikan pelayanan. Jadi intinya harus sabar meskipun pelayanan kita tidak dihargai.  


Kedua, menjadi pelayan harus siap peduli dengan lingkungan sekitar, peka terhadap realitas sosial yang terjadi tanpa memandang siapa yang akan dilayani. Ya, pelayan harus siap peduli entah bagaimanapun konsekuensinya. Pernah suatu ketika membantu orang lain karena tersandung masalah sampai akhirnya menemukan solusi walaupun tidak sampai akhir yang diharapkan. Setelah itu, Apa yang terjadi? malah orang tersebut menjatuhkan dengan cara menyebarkan hal – hal yang tak benar kepada orang lain. Jika seperti ini bagaimana? Jika ditanya sakit gak digituin? Jawabannya ya tentu sakit. Terus apa yang di lakukan? Ya berusaha menerima walupun sebenarnya tak terima. Dari realitas sosial ini saya diajari bahwa kepedulian kita terhadap orang lain belum tentu dibalas dengan kepedulian pula. So, belajarlah menerima walupun kepedulian kita tak dihargai.


Ketiga, menjadi pelayan harus memiliki rasa pengabdian yang tinggi. Karena jika tidak, pelayanan yang kita berikan tidak akan maksimal pasti ada menggerutunya. Yang diniati pengabdian aja terkadang masih menggerutu, apalagi yang tidak diniati mengabdi. 


Keempat, menjadi pelayan harus Ikhlas. Inilah hal yang terkadang sukar, berat untuk di aplikasikan dalam memberikan pelayanan. Karena pada dasarnya ikhlas itu tak meminta imbalan apapun dalam apa yang telah kita berikan. Ketika seorang pelayan memiliki rasa ihklas yang kuat niscaya pelayanan yang diberikan terasa tak berat dan akan melahirkan benih – benih kebahgiaan.


Suatu hari aku pernah bercerita serta bertanya kepada Ibu. Bu, ko aku memikirkan orang lain, padahal aku tidak ada yang memikirkan? ( Sambil lalu tersenyum ). Lalu Ibu menjawab “Biarkan Allah yang memikirkanmu”. Jawaban yang singkat tapi membuat hati terhenyak seketika. Dari jawaban Ibu, aku mencoba berfikir apa maksud dibalik jawaban tersebut. Aku terus meraba – raba pernyataan itu hingga akhirnya saya menemukan kesimpulan bahwa teruslah memberikan yang terbaik kepada orang lain walaupun tak terbalaskan, teruslah memberikan pelayanan yang terbaik walaupun tak dihargai, teruslah mengabdi walaupun dipandang sebelah mata, dan yang terakhir teruslah memikirkan orang yang membutuhkan bantuan walupun kita tak dipikirkan karena biarlah allah yang akan memikirkan kita. Ketika Allah yang memikirkan kita bukan tidak mungkin kita akan diberi kebahagian yang lebih dari apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Insyaallah.  


Berjuang & Berproses


Tidak ada komentar:

Posting Komentar